MAKALAH ISLAM DAN EKONOMI MEMALSUKAN UKURAN, TIMBANGAN DAN TAKARAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Setiap anggota masyarakat selalu mendambakan adanya ketentraman dan
kesembangan dalam kehidupan, semua keinginan manusia dalam kehidupanya,
termasuk didalamnya keinginan manusia di dalam keinginan untuk hidup tentram,
dapat di wujudkan apbila ada instrumen yang mampu mewujudkan keiginan
tersebut.salah satu instrumen yang di pandang dapat mewujudkan ketentraman itu
adalah transaksi perdagagan yang di lakukan atas dasar kejujuran serta
terhindar dari penipuan dan kecurangan seperti pengurangan ukuran, takaran dan
timbangan. Perbedaan antara pasar tradisional dengan pasar modren terlihat dari
cara transaksinya, pada pasar tradisional masih bisa di lakukan tawar menawar,
sedangkan di pasar modren tidak bisa di lakukan tawar menawar. Sedangkan
fasilitas tidak bisa di jadikan ukuran untuk menentukan tradisional atau modren
sebuah pasar. Artinya bila sebuah pasar dengan fasilitas yang serba modren
tetapi masih ada tawar menawar maka pasar tersebut dapat di kategorikan sebagai
pasar tradisional.
Beberapa kecurangan dalam transaksi
perdaganga terjadi dalam pasar. Kecurngan-kecurangan dalam transaksi
perdagangan itu dapat di lihat dari fenomena berikut ini.
1. Kecurangan
di bidang berat timbangan seperti penjualan gula dengan berat 1 kg padahal
berat sebenarnya hanya 800 atau 900 g.
2.
Kecurangan di bidang ukuran sperti
penjualan kain sepanjang 1 meter teryata hanya 90 cm.
3.
Kecurangan di bidang takaran seperti
saat pedagang memakai takaran yang bagian bawahnya menjorok keluar, tetapi
apabila menjul memakai takaran yang bagian bawahnya menjorok kedalam.
4.
Ada di antara pedagang yang memiliki
dua timbangan atau lebih. Satu timbangan yang benar dipakai saat ia lakulakan,
sedang yang satu timbangan yang tidak benar di saat menjual. Kecurangan-kecurangan
tersebut semangkin terlihat ketika menjelang hari raya yang biasanya jual beli
kebutuhan bahan pangan dan perhiasan meningkat tajam.
Dalam transaksi timbangan dipakai
sebagai tolak ukur untuk menjamin isi serta bobot barang yang di beli konsumen,
namun di sisi lain ada sejumlah pedagang ada yang mempermainkan alat timbangan
atau ukuran. Misalnya mengurangi bobot takaran atau isi. Misalnya ketika
konsumen membeli daging di pasar 1 kg, setiba di rumah di timbang ulng teryata
hanya 950 g. Kecurangan-kecurangan dalam transaksi perdangan dan ketidak
keteraturan kondisi pasar semestinya tidak terjadi karena di larang dalam
islam.
Dalam
surat Al- mutaffifin allah berfirman:
“Celakalah besarlah bagi orang-orang
yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain
mereka minta di penuhi, dan apabila mereka menakar untuk orang lain, mereka
mengurangi. Tindakan orang-orang itu yakni, bahwa sesunguhya mereka akan di
bangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri
menghadap tuhan semesta alam. Kejujuran dalam perdagangan tetap dapat di
wujudkan. Misalnya perdangangan harus mengatakan dengan jujur bahwa barang yang
di jualnya berkualitas baik tanpa ada campuran degan barang kualitas buruk”.
Pedagang juga harus jujur dalam
menakar, mengukur dan menimbang. Pedagang yang tidak jujur mendapat celaan dari
allah dan rasulnya
Rasulullah
bersabda: Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar, apabila keduanya jujur
dan menjelaska cacat barangya niscaya allah akan menurunkan keberkahan, tetapi
apabila keduanya saling berbohong dan menyembunyinkan cacat barangnya niscaya,
allah akan mencabut keberkahah dari transaksi perdaganganya. Salah satu bentuk
penipuan dalam jual beli ialah mengurangi takaran dan timbangan.
2.
RUMUSAN MASALAH
1. Sejauh mana pandangan masyarakat akan
pentingnya penerapan system kejujuran ukuran, timbanagan dan takaran dalam
sebuah bisnis atau jual beli?
2. Bagaimana cara mengatasi agar tidak
terjadi kecurangan dalam hal ukuran, timbanagan dan takaran dalam berbisnis?
3. Apa hukum bagi penjual jika tidak sengaja melakukan
pengurangan ukuran, timbangan atau takaran dikarenakan alat penimbang yang
rusak?
3. TUJUAN
Sebagaiaman
mengacu pada permasalahan diatas maka tujuan dari penulisan makalah ini yaitu
untuk mengetahui :
1. Sudah sejauh mana pandangan
masyarakat akan pentingnya penerapan system kejujuran ukuran, timbanagan dan
takaran dalam sebuah bisnis atau jual beli.
2. Bagaiamankah sikap masyarakat
terhadap kecurangan ukuran, timbanagan dan takaran.
3. Cara apa yang diguanakan dalam
mengatasi atau mencegah terjadinya kecurangan dalam hal ukuran, timbanagan dan
takaran dalam berbisnis.
BAB II
PEMBAHASAN
1,1 Penerapan system
kejujuran ukuran, timbanagan dan takaran :
Timbangan, takaran, dan ukuran yang
ada di dalam kitab-kitab fikih Islam sering disalahpahami oleh para pembaca dan
para peneliti, sementara mereka sebenarnya sangat membutuhkan pengetahuan
tentang patokan dasar timbangan dan takaran, sekaligus perbandingannya dengan
satuan meter yang sudah biasa dipakai di dunia saat ini. Sebagaimana telah diketahui bahwa
patokan standar untuk seluruh ukuran timbangan dalam syariat Islam adalah
dirham, yang berasal dari satuan ukuran Yunani (drakhma) yang terbuat dari
bahan perak dan menjadi alat tukar resmi Persia. Patokan standar berikutnya
adalah mitsqal yang berasal dari Solidus Romawi Bizantium yang terbuat dari
bahan emas dan menjadi alat tukar resmi Bizantium. Perbandingan timbangan
mitsqal dengan dirham dari sudut pandang syariat adalah 7:10, namun dalam
beberapa kondisi secara praktek di lapangan dapat mencapai 2:3.
Dirham dan mitsqal yang merupakan ukuran timbangan barang,
berbeda dengan dirham perak dan dinar emas yang digunakan sebagai satuan mata
uang dan alat tukar yang digunakan masyarakat. Kita masih
memiliki di beberapa museum saat ini berbagai mata uang emas (dinar) dan perak
(dirham) yang pernah digunakan selama beberapa kurun waktu di beberapa tempat
dan kawasan yang berbeda. Selain itu kita juga masih memiliki “Shinaj
Zujajiyyah” (timbangan kaca) yang dulu pernah menjadi patokan mata uang. Jika
diperhatikan, maka akan terlihat ukuran berbagai mata uang tersebut memiliki
perbedaan yang sangat signifikan; baik karena kualitas yang buruk, dipalsukan,
sudah berumur, maupun sebab-sebab lainnya. Akan tetapi dalam masalah ini
“shinaj” yang murni tetap lebih akurat. Istilah-istilah yang ada dalam
referensi-referensi fikih tidak memiliki pengertian yang sama karena perbedaan
penulis, masa mereka hidup, dan mazhab yang mereka anut.
Oleh sebab itu pengertian
ukuran-ukuran seperti habbah, qirath, dzira’, dan lain sebagainya yang
disebutkan oleh seorang penulis belum tentu sama dengan penulis yang lain. Atas
dasar ini, kita hendaknya tidak menganggap kata-kata ini menunjukan sebuah
ukuran nilai tertentu yang baku. Kita sepatutnya berpijak dari “shinaj” untuk
dapat mengetahui nilai ukuran yang lainnya seperti habbah, rathl, qirath, dan
lain sebagainya, serta memahami istilah setiap mazhab sesuai dengan apa yang
mereka maksudkan.
Para ulama menjadikan “ukuran
panjang” sebagai patokan dasar untuk timbangan, tekaran, dan berbagai ukuran
lainnya yang dipakai oleh seluruh bangsa. Itu karena para ilmuwan terdahulu
telah memperkirakan ukuran jari-jari khatulistiwa. Lantas mereka membuat sebuah
jarak antara dua titik (70/1) juta dari jari-jari khatulistiwa tersebut. Ukuran
ini dinamakan “adz-Dzira’ al-Muqaddas”. Mereka juga menghubungkan antara dzira’
(lengan) dan ukuran, serta antara timbangan dan qadam (kaki). Selain itu mereka
juga menghubungkan antara timbangan dan takaran dan timbangan air murni itu
sama. Oleh sebab itu, mereka membagi satu kubik air yang memiliki sisi dzira’
dan qadam ke dalam satuan-satuan yang memiliki besaran sama dalam timbangan dan
takaran. Hal ini untuk mempermudah dalam melakukan konversi dari satuan
timbangan ke satuan takaran atau sebaiknya.
Dalam masalah takaran dan timbangan,
terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara istilah-istilah yang digunakan
oleh para astronom dan istilah-istilah yang digunakan oleh ulama fikih.
Penyebabnya, para astronom menyatakan bahwa ukuran seperempat lingkar garis
khatulistiwa adalah 10.017.598 m, panjang garis lintang bumi adalah 111.307 m,
dan panjang satu menitnya adalah 1855 m. Sedangkan angka pecahannya diabaikan
karena tidak ada perbedaan dam perbedaan jarak qasar. Para astronom membagi
bumi menjadi 360 derajat (360˚). Dan membagi derajat menjadi 60 bagian yang
dinamakan menit. Dan mereka membagi menit tersebut menjadi seribu bagian yang
disebut khutwah, ba’, atau qamah yang panjangnya mencapai 185,5 cm. Ba’ dan
khutwah itu sama, yaitu nama untuk bagian tersebut yang merupakan satu bagian
dari 60.000 bagian derajat.
Mereka membagi hutwah menjadi empat
bagian tersebut dinamakan dzira’ yang memiliki panjang mencapai 46,375 cm.
Kemudian mereka membagi dzira’ manjadi 1,5 qadam, yaitu menjadikan khutwah atau
ba’ sebanyak enam qadam. Dengan demikian panjang satu qadam adalah 30.917 cm. Kemudian mereka menentukan ukuran
satu qadam sebesar empat qabdhah, dan dzira’ sebesar enam qabdhah. Satu qabdhah
sebesar empat ishba’. Dengan demikian, satu qadam sebesar 16 ashba’ dan satu
dzira’ sebesar 24 ashba’. Para ulama fikih telah mengupas tentang ukuran,
takaran, dan timbangan yang notabene berkaitan erat dengan banyak persoalan
fikih. Di antaranya sebagaimana yang disebutkan oleh imam Suyuti dalam kitab
“Qath’u al-Mujadalah ‘inda Taghyiir ala- Mu’amalah”. Di dalam kitab tersebut
beliau neyebutkan: “Ada sumber yang menyatakan bahwaUamr bin Khatab RA pernah
melihat jenis-jenis dirham yang berbeda. Diantaranya al-Baghli sebesar 4 daniq,
ath-Thabari sebesar 4 daniq. Lantas Umar pun berkata: “Lihatkah ukuran yang digunakan
oleh mayoritas masyarakat adalah al-Baghli dan yang terendah adalah
ath-Thabari. Akhirnya keduanya dijumlahkan hingga menjadi 12 daniq dan dibagi
dua sehingga menjadi 6 daniq. Enam daniq inilah yang akhirnya dijadikan ukuran
dirham dalam Islam.
Imam Suyuthi juga menyebutkan bahwa
Qadhi Iyadh berkata: “Tidak benar bila ukuran uqiyah dan dirham dianggap tidak
dikenal di masa Rasulullah SAW. Karena beliau mewajibkan zakat pada beberapa
hitungan darinya, dan digunakan juga untuk baiat dan pernikahan, sebagaimana
disebutkan didalam hadits-hadits shahih.”
Hal ini manjelaskan bahwa
dirham-dirham tersebut barui dikenal di masa Abdul Malik bin Marwan, dan dialah
yang mengumpulkan dirham-dirham tersebut dengan berdasarkan pendapat para
ulama, menjadikan setiap 10 timbangan dirham menjadi 7 mitsqal, dan timbangan
dirham adalah 6 daniq, adalah pendapat yang salah. Karena dirham yang baru
dikenal di masa Abdul Malik bin Marwan adalah dirham Islam yang nilainya sudah
tidak mengalami perbedaan. Sebelum masa itu, dirham memiliki banyak versi, dari
Persia dan Romawi -baik ukuran kecil maupun besar-, pecahan perak yang belum
dibentuk sebagai mata uang dan terukir, serta berasal dari Yaman dan Maroko.
Oleh karena itu, di masa Abdul
Malik, ada ide dari para ulama untuk mengubahnya menjadi mata uang Islam
lengkap dengan ukirannya, serta menjadikannya sebagai satuan timbangan dan
benda yang dijadikan alat ganti dari berbagai macam timbangan. Akhirnya, mereka
mengumpulkan berbagai versi dirham dari ukuran yang paling besar hingga paling
kecil, dan menjadikannya mata uang sesuai tingkatan timbangan yang biasa mereka
gunakan.
Imam Rafi’i berkata: “Generasi
pertama Islam sepakat untuk menggunakan ukuran timbangan ini, yaitu bahwa
dirham bernilai 6 daniq. Setiap 10 dirham senilai 7 mitsqal tidak pernah
mengalami perubahan, baik pada masa jahiliyah maupun Islam.”
Imam Nawawi berkata: “Nilai mitsqal
sudah diketahui. Nilainya tidak berbeda baik pada masa jahiliyah maupun Islam.
Adapun yang dimaksud fidhah (perak) adalah dirham-dirham di masa Islam.
Tombangan dirham adalah 6 daniq. Setiap 10 dirham senilai 7 mitsqal emas.
Generasi pertama Islam sepakat dengan ukuran ini.”
Satu dirham merupakan satuan alat tukar
yang terbuat dari perak dengan timbangan tertentu. menurut madhab Hanafiah
adalah 3,125 gr. Menurut jumhur adalah 2.975 gr. Dinar merupakan emas seukuran
1 mitsqal. Para ulama sepakat bahwa nilai dinar adalah 4,25 gr.
1.2 Cara mengatasi kecurangan dalam ukuran,
timbanagan dan takaran
Menghindari
kecurangan sekaligus memastikan timbangan pedagang yang digunakan dalam
transaksi jual beli agar benar-benar pas sesuai takarannya dan pembeli tidak
dirugikan, pihak UPTD Balai Pelayanan Kemetrologian Dinas Perindustrian dan
Perdagangan (Disperindag) harus melakukan tera ulang, sesuai dengan peraturan
UU Nomor 2 Tahun 1981 tentang metrologi ilegal tentang larangan memakai
timbangan yang tidak sah atau tidak, ada tanda teranya, sehingga tim dari
UPTD melakukan tera ulang terhadap semua
timbangan yang digunakan para pedagang di kawasan pasar di Kota Pagaralam.
“Ini dilakukan (ditera ulang) untuk memastikan jika timbangan yang
digunakan benar-benar resmi dengan tanda tera yang ada, atau ukurannya pas.
Dengan kata lain, untuk menghindari praktik kecurangan, sehingga pembeli tidak
merasa dirugikan berbelanja di pasar,” ujarnya di sela-sela pemeriksaan
timbangan milik para pedagang di kawasan Pasar Dempo Permai, kemarin (20/8).
Dalam
tera ulang kali ini, tim sudah menyiapkan personil yang ahli di dalam bidang
pengecekan timbangan, mulai dari alat-alat ukur, takar timbangan serta yang
lainnya. Setelah dilakukan pengecekan dan ukurannya sudah pas, baru timbangan
diberi tanda tera khusus dan resmi.Lebih jauh dikatakannya, pelanggaran
menggunakan timbangan yang tidak sah atau kecurangan lain, terancam dikenakan
pidana, dengan ancaman kurungan minimal 1 tahun, denda Rp.1 juta. “Kita
juga mengimbau serta mengingatkan kepada pedagang agar dapat mematuhi peraturan
yang berlaku, salahsatunya dengan melakukan tera terhadap timbangan mereka,”
imbaunya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Comments
Post a Comment